Ketergantungan Kita pada Nasi

Negara pengekspor beras terbesar di dunia, India, resmi mengumumkan akan menghentikan ekspor sebagian varietas beras mulai 20 Juli 2023 (Kompas, 25/7/2023). Gagal panen yang terjadi di sejumlah wilayah di India menyebabkan produksi beras menurun sehingga pemerintah memfokuskan pemenuhan kebutuhan beras di dalam negeri. Kebijakan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi pasokan beras dunia mengingat 40% ekspor beras global dipasok dari India.

Kebijakan India ini juga dikhawatirkan akan mempengaruhi pasokan beras di Indonesia. Awal tahun ini, Presiden Joko Widodo mencanangkan hendak mengimpor 2 juta ton beras dari Thailand, Vietnam dan India. Berhentinya pasokan beras dari India tentu akan membuat permintaan beras ke negara lain meningkat. Ditambah perubahan iklim semakin mengancam pertanian di seluruh negara, bisa jadi harga beras nantinya akan meningkat tajam atau bahkan menjadi barang langka.

Jika beras langka, kemungkinan yang akan terjadi adalah substitusi makanan pokok beras ke gandum.  Berdasarkan Statistik Konsumsi Pangan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2022, konsumsi beras berkurang sebesar 0,58% dari tahun 2021. Di sisi lain  konsumsi gandum meningkat 3,41%. Hal ini disinyalir karena ada tren di masyarakat untuk mengganti makanan pokok dari nasi ke menjadi mie dan roti.

Padahal, hampir seluruh terigu yang beredar di negeri ini berasal dari gandum impor karena sejatinya gandum tidak dibudidayakan di Indonesia. Sehingga, ketersediaan gandum dalam negeri amat bergantung pada negeri pemasoknya. Sayangnya, perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen serta keputusan Rusia untuk menarik partisipasi dari Black Sea Grain Initiative ditengarai akan menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga beberapa komoditas pangan terutama gandum.

Salah Kebijakan?

Ketergantungan kita pada nasi memang sudah lama terjadi. Menurut Ahmad Arif dalam bukunya Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan (2019), penyeragaman pangan menjadi nasi sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Indonesia amat kaya akan keberagaman pangan. Bahkan kata ‘Jawa’ sebenarnya merujuk pada beraneka ragam biji-bijian, yang saat itu tumbuh di pulau ini. Sayangnya, tanam paksa yang terjadi saat itu membuat masyarakat tidak bisa leluasa menanam berbagai macam sumber pangan dan akhirnya menyeragamkan makanan pokok menjadi nasi.

Yang lebih menyedihkan, ketergantungan pada nasi terus terjadi jauh setelah masa kolonialisme, lebih-lebih di era Orde Baru. Intensifikasi pertanian ditambah pembabatan hutan masif terus dilakukan demi memenuhi ambisi penyeragaman konsumsi nasi. Kondisi ini masih diperparah oleh pembagian raskin/rastra pada masyarakat miskin dan terpencil sehingga yang tadinya mereka terbiasa makan sumber karbohidrat yang bervariasi jadi ikut-ikutan menghamba pada nasi.

Sayangnya, produksi beras dalam negeri kerap kali dicap belum mampu memenuhi kebutuhan (atau tepatnya keinginan) rakyat untuk menikmati nasi. Sehingga beras harus didatangkan dari luar negeri. Tercatat, impor beras sebenarnya pernah dilakukan sejak era kolonialisme Belanda pada tahun 1910. Dari era Presiden Soekarno hingga Jokowi hari ini, beras terus saja diimpor dari berbagai negara.

Beras, nyatanya masih menjadi lambang kesejahteraan dan dianggap lebih unggul dibanding sumber karbohidrat lainnya. Padahal, setiap pangan karbohidrat memiliki keunggulannya masing-masing. Sebagai contoh, umbi-umbian memiliki kandungan serat yang lebih tinggi daripada beras. Ubi jalar juga kaya vitamin A, sedangkan ubi ungu memiliki kadar antioksidan yang tinggi. Singkong dan ubi juga amat mudah tumbuh di Indonesia, meski tanpa pupuk dan irigasi sama sekali. Tidak ada sumber karbohidrat yang paling unggul, semua saling melengkapi dengan kandung gizi masing-masing. Untuk itu, penting sekali memvariasikan menu makanan supaya masing-masing keunggulan pangan ini dapat kita dapatkan.

Sayangnya, kita telah terlalu terbiasa makan nasi. Bahkan bagi banyak orang, belum makan nasi artinya belum kenyang. Nasi dianggap satu-satunya makanan yang mampu memenuhi kebutuhan harian. Nasi selalu hadir tiga kali sehari dan setiap hari dalam hidup kita.

Kegandrungan akan nasi bahkan sudah menjangkiti penduduk Papua dan Nusa Tenggara. Di daerah yang dulu di buku pelajaran ditulis makanan pokoknya adalah sagu dan umbi-umbian, kini telah amat tergantung pada nasi. Survey yang dilakukan Kompas (14/12/22) menunjukkan, warga Zanegi dan Baad di Merauke sehari-hari makan nasi, mie, baru kemudian makan sagu. Sagu bahkan seringkali dimakan bersama nasi atau mie.

Maka sebenarnya, sebelum menyalahkan kebijakan pemerintah karena terus-menerus mengimpor beras dan membuka hutan untuk dijadikan sawah, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri terlebih dahulu.

Maukah kita mencoba mengganti nasi dengan pangan lokal seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, atau ubi? Maukah kita membiasakan diri untuk tidak bergantung pada nasi? Maukah kita kembali membudidayakan sumber karbohidrat lain alih-alih terus-menerus menanam padi?

 Sepertinya sulit untuk mengiyakan pertanyaan di atas mengingat bagi banyak dari kita, makanan selain nasi di atas hanyalah kudapan semata, bukan makanan pokok.

Teringat kisah Ali bin Abi Thalib kala diprotes rakyatnya kenapa masa kepemimpinannya tidak sesejahtera pemimpin sebelumnya. Ali menjawab, “Karena pada masa Umar, rakyatnya adalah seperti aku. Sedangkan pada masa kepemimpinanku, rakyatnya seperti kalian”. Sejatinya pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Kebijakan pemimpin pun mengikuti watak rakyatnya. Intentisifikasi pertanian, pembabatan hutan untuk lahan padi, hingga impor beras sejatinya hadir karena kita jugalah yang terus menerus tergantung pada nasi.

Kalau kita serius ingin terbebas dari krisis pangan di masa mendatang, mulai sekarang harus memaksakan diri mengganti nasi menjadi sumber karbohidrat lokal lainnya. Bagaimanapun baiknya kebijakan pemerintah terkait pangan, apabila kita tidak membiasakan diri untuk makan makanan non-nasi, mustahil di masa depan kita terbebas dari krisis pangan dan kelaparan.

Referensi

Arif, Ahmad, 2019, Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, Jakarta, Kepustaan Populer Gramedia

Kementerian Pertanian, 2022, Statistik Konsumsi Pangan 2022, Jakarta, Kementerian Pertanian

“Waspadai Tekanan pada Stok Pangan Dunia Akibat Larangan Ekspor”. kompas.id,. 24 Juli 2023,https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/07/23/waspadai-tekanan-pada-stok-pangan-dunia-akibat-larangan-ekspor

Penulis :

drg. Zahratul Iftikar

Praktisi Permakultur

Komunitas Teman Baca Ibu

Leave a comment

Dampak Covid