Standing tall : Peru’s success in overcoming its stunting crisis

Penanganan stunting menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah pusat dan daerah saat ini. Sebagian wilayah nusantara telah ditetapkan sebagai wilayah prioritas penanganan stunting selama beberapa tahun ke depan. Sebagai bahan pembelajaran, kali ini tim Jaringan Pangan dan Gizi membagikan informasi kisah sukses dari negara Peru dalam menangani stunting. Dua poin menarik yang diangkat dari laporan penangan stunting tersebut adalah pentingnya memiliki data yang bersifat real-time dan bekerjanya sistem kesehatan secara optimal dalam mencegah serta menanggulangi kasus stunting. Selain itu, aspek pengasuhan anak ternyata menjadi salah satu kunci sukses penanganan stunting di Peru.

Selengkapnya

Making multisectoral collaboration work

Melanjutkan topik kolaborasi multisektor yang telah dibahas pada Webinar yang lalu, kali ini tim Jaringan Pangan dan Gizi membagikan tautan ke satu seri publikasi dari British Medical Journal (BMJ) yang berisi artikel-artikel tentang pengalaman kolaborasi multisektor di 12 negara. Seri publikasi ini tidak hanya berfokus pada satu jenis kasus saja, tetapi mencakup beberapa kasus menarik seperti kolaborasi multisektor di bidang kesehatan ibu, kesehatan anak, kesehatan remaja, bidang krisis kemanusiaan, hingga bidang kesehatan reproduksi. Pengalaman dari berbagai negara ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembelajaran dalam mengembangkan kolaborasi multisektor di Indonesia. Seperti tertuang dalam dokumen SDGs (SDG ke 17), kemitraan dari berbagai pihak merupakan salah satu kunci kesuksesan mencapai tujuan-tujuan SDGs.

Selengkapnya

Perbedaan Pengetahuan Gizi Prakonsepsi dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Pada Wanita Usia Subur (WUS) Usia 15-19 Tahun Kurang Energi Kronis (KEK) dan Tidak KEK di SMA Negeri 1 Pasawahan

Masalah gizi di Indonesia masih didominasi gizi kurang. Masalah gizi kurang ini akan mempengaruhi status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (integration impact). Salah satu periode status gizi paling menentukan adalah status gizi masa pranikah atau masa prakonsepsi. Menurut Cetin dkk (2009), status gizi prakonsepsi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kehamilan dan kesejahteraan bayi karena kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan jauh sebelumnya yaitu pada masa remaja dan dewasa sebelum hamil atau selama menjadi wanita usia subur (WUS).

Namun masih banyak WUS yang mengalami kekurangan gizi yaitu Kekurangan Energi Kronis (KEK) yang dapat diketahui dengan mengukur lingkar lengan atas dengan cut off point I 23,5 cm.  Secara nasional, prevalensi KEK pada WUS usia 15 – 49 tahun (tidak hamil) adalah 20.8%. Data Dinas Kesehatan di Provinsi Jawa Barat 2013 menunjukkan prevalensi WUS dengan KEK sebesar 21.6% (Riskesdas 2013)

Hubungan Ketahanan Pangan Keluarga dengan Status Gizi Balita

(Studi di Desa Palasari dan Puskesmas Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang)

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan ketahanan pangan dengan status gizi balita dan ragam upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam penanggulangan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Legok, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang.

Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Fokus ketahanan pangan juga meliputi ketersediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah tangga, dan bahkan bagi inidvidu dalam memenuhi kebutuhan gizinya.

Praktik Pemberian Makan Terhadap Kejadian Kurus Pada Anak Baduta (bawah dua tahun)

Kurus merupakan bentuk kurang gizi yang bersifat akut yang menyebabkan gangguan fungsi  imun tubuh sehingga memperparah dan memperpanjang lama sakit infeksi serta meningkatkan resiko kematian pada anak. Hingga saat ini belum dapat dipastikan faktor resiko penyebab kurus dikarenakan faktor resiko yang diduga menyebabkan kurus juga menjadi faktor resiko bagi bentuk malnutrisi pendek dan gizi kurang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah praktik pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) merupakan faktor resiko kejadian kurus pada anak baduta di Yogyakarta.

  • Indonesia menempati posisi tertinggi kedua di Asia Tenggara dengan prevalensi anak balita kurus sebesar 11,9 persen. Kurus merupkakan malnutrisi akut yang meningkatkan resiko kematian hingga 11 kali lipat, hal ini dikarenakan mereka yang memiliki tubuh kurus rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit infeksi. Pada penelitian sebelumnya menunjukkan praktek pemberian makan pada anak di Indonesia masih kurang baik. Hanya 18 – 45 persen anak yang diberi makan sesuai panduan WHO (World Health Organization). Hal ini juga dipengaruhi oleh masih sedikitnya peran tenaga kesehatan dalam memberikan contoh pemberian makan yang baik.
  • Metode penelitian ini adalah perpaduan kualitatif dan kuantitatif (kasus kontrol berpasangan) Pengambilan data dilakukan di 14 Puskesmas di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul pada 2015. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah PMBA sedangkan variabel terikat adalah kurus pada anak baduta.
  • Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa ketidaksesuaian PMBA tidak meningkatkan risiko kurus pada anak baduta di Yogyakarta (OR=1,4; 95% CI: 0,62-3,36; p=0,523). Penelitian ini juga  menunjukkan praktik pemberian makan pada anak usia  6-23 bulan juga sudah baik (di atas 80%). Namun, lebih dari separuh responden penelitian mengalami defisiensi asupan energi. Hal ini dapat disebabkan karena responden sudah menerima berbagai macam makanan namun jumlahnya belum memenuhi. Selain itu banyak responden mengalami Infeksi Saluran Pernapaan Akut (ISPA).
  • Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktik pemberian makan pada bayi dan anak dengan kurus pada baduta

Sumber: jurnal.ugm.ac.id

Dampak Covid