Problematika Gizi Anak Sekolah

Belum lama ini para siswa di Indonesia memasuki tahun ajaran baru sekolah. Bagi orang tua yang mempedulikan kesehatan anaknya perlu memutar otak kembali agar dapat memastikan kondisi anak selalu sehat. Salah satu hal penting yang menunjang kesehatan anak adalah asupan gizi anak. Kegiatan anak yang lebih banyak, lingkungan baru, kebiasaan baru, pergaulan dengan teman, tambahan wawasan, durasi interaksi dengan orang tua yang lebih terbatas dan beberapa faktor lain memegang peranan dalam membentuk kebiasaan makan anak.

Kita ingat kembali permasalahan gizi ganda pada anak Indonesia, diantaranya underweight, stunting, anemia, dan kegemukan. Jika dilihat lebih dekat dari sudut pandang problematika anak sekolah, ternyata salah satu penyebab masalah gizi anak sekolah yaitu anak melewatkan sarapan pagi. Seameo Recfon-Kemendikbud pada 2019 menyatakan bahwa 1 dari 4 anak sekolah tidak sarapan pagi. 

Sarapan pagi terkadang dianggap sepele, bahkan banyak dewasa yang justru sengaja melewatkan waktu makan pagi. Penyebab melewatkan sarapan pada anak antara lain terlambat bangun dan tidak tersedianya makanan sarapan di rumah. Hal ini tidak bisa dianggap sepele pada anak. Bahkan bisa kita anggap bahwa sarapan pagi adalah waktu makan paling penting bagi anak. Mengapa demikian?

Sarapan pagi yang baik memenuhi setidaknya 30% kebutuhan gizi harian anak. Kebutuhan kalori anak usia 7-12 tahun setidaknya membutuhkan 1650-2000 kkal. Apabila anak melewatkan sarapan, kebutuhan energi, protein, zat besi dan zat gizi lainnya akan sulit dipenuhi. Kurangnya asupan gizi akan menyumbang angka kekurangan gizi/underweight. Selain itu ketidakcukupan gizi dapat berdampak pada stamina anak yang buruk. Stamina yang buruk dapat mengganggu kegiatan belajar maupun keseharian anak di sekolah dan di rumah.

Selain berdampak pada stamina dan kemampuan belajar anak, melewatkan sarapan juga memberikan dampak lain, yaitu mendorong anak untuk membeli makanan jajanan yang tidak sehat. Kondisi kelaparan secara umum akan mendorong seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang tinggi gula dan lemak. Belum lagi apabila kantin sekolah tidak mengatur makanan yang dijajakan, tentunya hal ini akan semakin mendorong anak untuk membeli jajanan yang tidak sehat. Makanan tidak sehat cenderung tinggi kalori dan rendah akan vitamin mineral. Hal inilah yang memicu kegemukan dan anemia.

Sebenarnya pengetahuan anak akan makanan yang sehat tergolong dalam kategori tinggi, namun jajanan tidak sehat lebih dipengaruhi karena keterbatasan ketersediaan jajanan yang sehat di lingkungan sekolah. Permasalahan gizi pada anak sekolah tidak dapat ditangani oleh satu pihak saja. Perlu adanya kerjasama antar beberapa pihak. Misalnya saja peran orang tua dalam menyediakan sarapan yang sehat di rumah dan peran guru dalam mengedukasi dan meregulasi jajanan anak sekolah.

Sumber bacaan:

BPOM RI. 2021. Pedoman pangan jajanan anak sekolah untuk pencapaian gizi seimbang. Jakarta: BPOM.

Leave a comment

Dampak Covid