Membumikan Gerakan Cegah Stunting

Jakarta – Tubuhnya pendek dan kurus. Pendiam. Wajahnya tampak lebih muda dari anak seusianya. Pertumbuhan dan perkembangannya melambat, tak seperti data pertumbuhan ekonomi yang terus melesat. Itulah potret anak stuntingyang dialami satu dari setiap tiga anak yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.

Stunting bukan hanya persoalan kekurangan gizi kronis, tapi ini berkelindan dengan reproduksi kemiskinan yang terus terpelihara; dari stuntingmenciptakan problem neurologis, kemampuan intelektual yang rendah dan keterampilan yang minim sehingga berkontribusi pada mata rantai kemiskinan. Stunting bukan hanya persoalan individu, tapi juga menyangkut eksistensi sebuah bangsa. Indonesia yang akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030 bisa sia-sia apabila masih banyak balita gagal tumbuh akibat gizi kronis. Bonus demografi tak akan berarti apa-apa tanpa generasi muda yang sehat jiwa dan raga. Generasi muda yang sehat jiwa dan ragn tentu bermula dari balita yang sehat pula.

Alih-alih mendapat bonus demografi, dengan stunting negara terancam mengalami kerugian. Berdasarkan data Bank Dunia pada 2016, jika PDB Indonesia sebesar Rp 13.000 triliun, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp 260-390 triliun per tahun. Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20 persen lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.

Indonesia masih nomor empat tertinggi di dunia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa tiap daerah dan provinsi mengalami stunting. Penurunan angka stunting menjadi 30,8 persen dari sebelumnya 37,1 pada 2013. Namun, angka ini masih tergolong tinggi, sebab 1 dari 3 anak di Indonesia masih mengalami stunting yang terjadi di berbagai daerah. Ini masih berada di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang prevalensinya itu harus kurang dari 20 persen.

Di samping itu, masih tingginya stunting menjadi kabar kurang baik di tengah kotbah kemajuan pertumbuhan ekonomi yang selalu menjadi parade keberhasilan. Pertumbuhan ekonomi yang ada ternyata belum menyentuh masyarakat secara luas. Pertumbuhan itu hanya ada di perputaran para elit, sementara kemiskinan masih terus pengap di masyarakat pinggiran.

Dari beberapa penelitian, selalu ada korelasi antara kemiskinan dan gizi buruk. Berhanu Nigussie Worku, dkk dalam The relationship of undernutrition/psychosocial factors and developmental outcomes of children in extreme poverty in Ethiopia (2018) menyebutkan dalam hasil risetnya bahwa ada korelasi positif antara kemiskinan dan gizi buruk yang terjadi Ethiopia. Ia menemukan, 819 anak-anak yang sangat miskin, 325 orang (39,7%) mengalami stunting, 135 orang (16,5%) kekurangan berat badan, dan 27 orang (3,3%) mengalami wasted. Kemiskinan menjadi penyebab utama terjadinya stunting pada anak. Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi faktor dominan terjadinya stunting. Salah satu provinsi dengan catatan stunting terburuk di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada 2017, Provinsi NTT menyumbang 5 kabupaten/Kota yang masuk peringkat 10 besar dengan belita pendek (stunting) dan kurus (wasting). Kadek Dwi Ariesthi dalam Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur (2016), melalui risetnya di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur periode Maret-Mei 2014, menunjukkan beberapa faktor dominan terjadinya stunting. Yakni, pendapatan keluarga, frekuensi sakit anak, pendidikan ibu, frekuensi penimbangan anak di Posyandu, dan sumber air minum.

Faktor yang paling dominan terjadinya gizi kurang pada balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp 234.141 per bulan. Data yang diambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita sehat menunjukkan bahwa masalah ekonomi masih menjadi faktor utama. Pendapat keluarga mempunyai hubungan erat dengan asupan gizi anak. Jika pendapatan keluarga minim, maka otomatis asupan gizi juga terganjal.

Gerakan Tambal Sulam Gerakan nasional sadar gizi bukan program baru di Indonesia. Tapi, untuk menekan prevalensi stunting harus kurang dari 20 persen sebagaimana amanat WHO masih tambal sulam. Pada era Orde Baru ada gerakan perbaikan gizi nasional dengan semboyan “Empat Sehat Lima Sempurna”. Program ini mendapat banyak kritik karena makanan empat sehat lima sempurna tidak akan mendapatkan manfaat kesehatan apabila porsinya tidak seimbang. Pada tahun 1990-an kampanye perbaikan gizi berubah menjadi “gizi seimbang dan keluarga sadar gizi”. Kampanye perbaikan gisi terus dilakukan. Pada 2012 diadakan peluncuran gerakan nasional sadar gizi dalam rangka 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang dilakukan pemerintah dan lembaga non pemerintah. Dari pemerintah ada Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sementara dari non pemerintah ada perwakilan dari UNICEF dan World Bank, dunia usaha, perguruan tinggi, asosiasi profesi dan perwakilan pakar. Ironisnya, dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007, 2010, 2013), dari periode 2007 hingga 2013 hanya ada empat provinsi yang mengalami penurunan angka prevalensi stunting, yakni Kaltim, Babel, Banten, dan Sumsel. Selebihnya stagnan dan berjalan di tempat. Ini menunjukkan ada problem serius dengan gerakan gizi nasional sehingga angka stunting tak juga beranjak turun. Sejak 2017 pemerintah mulai membentuk skema dan upaya penuntasan stunting secara terpadu oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Desa melalui Permendesa No 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Memang butuh komitmen dan kemauan politik yang kuat untuk mengatasi problem stunting. Selama ini pengelolaan dana desa masih tetap fokus pada infrastruktur, sebagaimana layaknya ritme pemerintah pusat.  Meskipun dana yang mengucur cukup banyak, tapi tanpa komitmen dan kemauan politik untuk betul-betul menyelamatkan generasi bangsa dari ancaman stunting, maka gerakan itu hanya besar di semboyan tapi miskin gerakan yang membumi yang menyentuh level hidup masyarakat miskin. Membumikan Gerakan Menurut saya ada beberapa gerakan kongkret yang harus membumi untuk mencegah stunting. Pertama, setiap desa harus mengidentifikasi latar belakang keluarga yang taraf ekonominya menengah ke bawah. Dengan dana desa yang ada, aparat desa bisa melakukan pemberdayaan ekonomi melalui edukasi entrepreneurship agar mereka bisa mandiri.  Meskipun saat ini sudah ada program keluarga harapan dari Kemensos, tapi aparat desa juga harus memestikan bahwa tidak ada lagi warganya yang kelaparan dan kekurangan gizi. Dana desa jangan hanya dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur, tapi juga harus fokus untuk mengembangkan manusia berkualitas dengan mencegah terjadinya stunting melalui pemberdayaan ekonomi berbasis keluarga. Kedua, Posyandu harus digalakkan agar tak hanya melayani balita, seperti imunisasi, timbang berat badan, tapi juga memberikan kelas parenting bagi calon ibu yang sedang hamil. Memberikan pengetahuan dasar ihwal pola asupan gizi bagi janin yang dikandung sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Untuk itu, pemerintah desa bisa bekerja sama dengan Puskesmas setempat dan kampus setempat untuk memberikan materiparenting tentang pola pertumbuhan dan perkembangan anak di dalam rahim serta kebutuhan gizi dan makanan apa saja yang perlu diberikan.

Ketiga, aparat desa harus memberikan perhatian yang lebih terhadap lembaga PAUD, baik nonformal seperti taman penitipan anak dan kelompok bermain, serta PAUD formal seperti TK dan RA. Optimalisasi mutu PAUD sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Desa. Tapi, memang harus diakui masyarakat masih menganggap sebelah mata dari gerakan PAUD. Padahal, jika PAUD –yang melihat semua aspek perkembangan anak dari ragam disiplin, nonformal, dan formal– tumbuh dengan kualitas yang memadai dengan guru yang juga berkualitas, maka gerakan memberantas stunting bisa lebih efektif.

Fitri Wijayanti alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

(mmu/mmu)

Sumber: detik.com

Leave a comment

Dampak Covid