Liputan Webinar Public Health Nutrition:

The Golden Period of Child Growth and Development: Optimizing The Nutritional Status of Indonesia Children’

Pada tanggal 27 Desember 2022 lalu, Minat Gizi dan Kesehatan, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKKMK UGM mengadakan webinar mata kuliah Public Health Nutrition dengan tema ‘The Golden Period of Child Growth and Development Optimizing The Nutritional Status of Indonesia Children’. Pembicara dalam webinar ini yaitu Ibu Dr. dr. Neti Nurani, M.Kes., Sp.A(K) yang merupakan dokter spesialis anak dengan bidang keahlian nutrisi dan metabolik (NPM) dan Ibu Atmarita, MPH, Dr.PH selaku peneliti senior bidang gizi kesehatan masyarakat di Indonesia. Webinar dimoderatori oleh Ibu Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH, Ph.D selaku dosen di Departemen BEPH, FKKMK UGM.

Webinar ini membahas pentingnya masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK) pada anak. Kurang gizi dapat memberikan dampak jangka pendek dan jangka panjang diantaranya perkembangan otak (performa pendidikan yang rendah), komposisi tubuh (imunitas yang buruk), gangguan metabolik dan hormon (resiko penyakit tidak menular yang lebih besar). Dampak dari kurang gizi secara kronis pada periode 1000 HPK cenderung irreversible (sulit dikoreksi), misalnya tidak optimalnya ukuran otak pada anak dan munculnya hambatan pertumbuhan linier (yang dikenal sebagai stunting).

Narasumber pertama (Dr. dr. Neti Nurani, M.Kes., Sp.A(K)) memaparkan bahwa gagal tumbuh pada anak paling banyak terjadi di usia 3 hingga 18-24 bulan, sehingga perlu intervensi yang serius pada usia tersebut. Intervensi dilakukan dengan mencegah berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MPASI) secara tepat. Perjalanan malnutrisi menjadi stunting harus dikenali dengan baik dan segera memperoleh tata laksana yang komprehensif. Awal mula dari kejadian stunting adalah weight faltering/gagal tumbuh dengan gejala awal BB tidak naik/naik tidak sesuai target, kemudian disusul tinggi badan yang tidak naik/linear growth failure (lenght deceleration).

Bedasarkan PNPK Stunting UKK Nutrisi & Penyakit Metabolik IDAI 2022, tahap pencegahan malnutrisi terdiri dari:

  • Primer (pencegahan)

    Dilakukan dengan pemantauan antropometri berkala, edukasi nutrisi adekuat (ASI eksklusif, MPASI berkualitas).

    Rekomendasi WHO : Inisiasi menyusui dini (<1 jam setelah lahir), ASI eksklusif (6 bulan), MPASI usia 6 bulan sambil memberikan ASI hingga 2 tahun atau lebih, pemberian MPASI (tepat waktu, kandungan nutrisi cukup seimbang, aman, diberikan dengan benar)

    Buku pedoman yang bisa digunakan: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Pedoman Pemberian Makan Bayi dan Anak, Buku Kesehatan Ibu dan Anak.

  • Sekunder (sudah mengalami malnutrisi, di tingkat kesehatan primer)

    Perlu konfirmasi pengukuran dan penelusuran, pemberian makanan khusus sesuai indikasi.

  • Tersier (sudah mengalami malnutrisi, di tingkat kesehatan sekunder)

    Memerlukan penentuan diagnosis malnutrisi atau kondisi patologis dan tata laksana.

Riset terkait MPASI home made di Indonesia menunjukkan bahwa MPASI buatan rumah tangga masih jauh dari standar (hanya memenuhi 20% dari kecukupan kalsium, zink, besi) (Fahmida dkk, 2014). Padahal besi dan zink adalah mikronutrien terpenting begitu anak memasuki usia 6 bulan. Problem lain terkait MPASI adalah pemilihan bahan makanan yang kurang tepat, sehingga penyerapan zat besi dari makanan terabaikan.

Dr. Neti juga memaparkan metode pemantauan pertumbuhan berkala, diantaranya BB/U, TB/U, BB/TB, IMT/U, serta LLA. BB/U dan TB/U penting sekali untuk terus dievaluasi karena berkorelasi kuat dengan lima domain perkembangan, yaitu komunikasi, motorik kasar, motorik halus, sosial personal dan problem solving. Pencegahan dan penanganan kurang gizi kronis perlu dilakukan dengan tujuan mendukung perkembangan anak. Di akhir sesi, Dr. Neti menyampaikan take home messages, diantaranya: (1) pemberian nutrisi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, (2) ASI eksklusif dan MPASI (yang tepat waktu, adekuat, aman, responsif) bermanfaat mencegah kurang gizi, serta (3) pemantauan pertumbuhan dan status gizi anak secara berkala dapat berfungsi sebagai deteksi dini jika anak mengalami kurang gizi.

                Setelah narasumber pertama memberikan wawasan dari sudut pandang keilmuan klinis, narasumber kedua (Ibu Atmarita, MPH, Dr.PH) mengupas tentang status gizi anak dari sudut pandang gizi kesehatan masyarakat. Beliau memaparkan topik dengan judul, ‘Status Gizi Anak Indonesia dari Tahun ke Tahun dan Refleksi ke Depan’. Target Indonesia maju di 2045 memuncuklkan pertanyaan, “bagaimana kondisi SDM di Indonesia, apakah tinggi badan ‘potensial’ sudah tercapai?”. Dr. Atmarita juga membahas tentang pentingnya surveilans gizi sebagai pendekatan pemantauan pertumbuhan anak di Indonesia.

Tinggi badan potensial usia 18-19 tahun merupakan indikator penilaian kualitas sumber daya manusia (SDM) di suatu negara. Penilaiannya menyamai standar yang dikeluarkan WHO (acuan semua negara), atau dengan mengamati secular trend (tren jangka panjang dengan melakukan pemantauan tingkat pertumbuhan fisik pada anak-anak). Pendekatan yang umum dilakukan adalah melihat bagaimana capaian tinggi badan pada orang yang sudah dewasa, dan mencermati apakah anak yang sudah dewasa rata-rata lebih tinggi daripada orang tuanya. Secular trends di Jepang sudah tercapai pada tahun 2010, sedangkan di Korea Selatan tercapai pada tahun 2005. Sementara di Indonesia, secular trends saat ini masih belum tercapai. Cerminan anak Indonesia tahun 2007-2019 dari Analisis Data Survei Nasional Indonesia menunjukkan bahwa berat bayi lahir rendah (BBLR) dan panjang bayi lahir rendah (PBLR) masih tinggi. Seharusnya problem tersebut diintervensi sejak masa pra-konsepsi atau siklus hidup yang sebelumnya.

Dr. Atmarita membagikan pengalaman beliau saat mengikuti International Conference of Nutrition (ICN) 2022 di Tokyo beberapa waktu yang lalu, di mana Barker’s hypothesis terkait asal usul penyakit dewasa mulai dari janin menjadi salah satu topik yang digarisbawahi. Meningkatnya obesitas dan penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sangat perlu diwaspadai. Pada tahun 2013, hampir 50% dari dewasa di Indonesia mengalami penyakit tidak menular (satu penyakit ataupun berkombinasi). Jika tidak diberikan intervensi yang tepat, diperkirakan tahun 2025 atau 2030 terjadi peningkatan sebesar 60-70%.

Dr. Atmarita menganalisis tinggi badan rata-rata berdasarkan kondisi pada anak usia 5-19 tahun (analisis data Riskesdas tahun 2007-2013-2018). Data dikelompokkan berdasarkan status sosial ekonomi dan lokasi provinsi, kemudian dilakukan pembobotan dan disandingkan dengan nilai rujukan median WHO 2007. Dikatahui bahwa tinggi badan anak laki-laki maupun perempuan masih jauh dari median. Lebih disayangkan lagi bahwa semakin bertambah usianya, semakin banyak selisih tinggi badannya dibandingkan tinggi badan potensial. Anak balita 0-5 tahun sedikit mengalami perbaikan tahun 1997 ke tahun 2019, sehingga perlu intervensi serius agar tinggi badan mendekati median rujukan WHO. Pada kelompok usia 5-19 tahun, selisih (nilai delta) tinggi badan rata-rata dengan nilai median WHO semakin lebar, mengindikasikan kemungkinan terjadinya proses gagal tumbuh dalam sub-grup populasi.

Di akhir sesi, Dr. Atmarita memberikan refleksi bahwa masih ada waktu untuk mencapai target SDM berkualitas pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia mendatang. Peningkatan cakupan dan kualitas program-program gizi perlu terus-menerus dilakukan, terutama program-program gizi yang langsung menjangkau masyarakat. Satu poin yang sangat penting adalah surveilans gizi harus menjadi prinsip dari implementasi program. Pemantauan cara penyampaian layanan dan cakupan program hendaknya dilakukan secara berkala dan dengan pendekatan yang tepat.

Ditulis oleh: Lisa Rosyida dan Digna Purwaningrum

Sumber bacaan :

Fahmida U, Santika O, Kolopaking R, Ferguson E. Complementary feeding recommendations based on locally available foods in Indonesia. Food Nutr Bull. 2014 Dec;35(4 Suppl):S174-9. doi: 10.1177/15648265140354S302. PMID: 25639135.

Leave a comment

Dampak Covid