Akhir-akhir ini tengah ramai terkait trend ‘real food’. Terlebih di sosial media. Semakin banyak influencer kesehatan maupun tenaga kesehatan yang mengkampanyekan tren ini. Sebenarnya istilah real food ini bukan istilah baku. Namun, tren ini sangat menarik untuk diikuti. Mengingat harga berbagai bahan pangan yang melejit dan tuntutan hidup sehat semakin tinggi, tren real food bisa menjadi opsi.
Real food sendiri adalah pola makan yang mengutamakan makanan yang segar, diolah dengan proses yang minimal sehingga zat gizinya masih terjaga. Ultra processed food (UPF) merupakan makanan yang sangat dijauhi pada tren real food.
Seperti apa makanan pada tren real food?
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan-makanan yang ada di sekitar. Misalnya saja karbohidrat dari nasi, ubi, kentang, talas. Bukan dari mie, pasta, roti pabrikan. Untuk lauk, berasal dari protein segar seperti ikan segar, daging segar, ayam segar, telur, seafood, tahu, tempe, kacang-kacangan. Sayur dan buah dari sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Bukan sayur yang digoreng menjadi keripik, atau buah yang sudah diolah pabrikan menjadi jus buah tinggi gula dan pengawet atau manisan buah tinggi gula.
Makanan real food biasanya diolah dengan lebih sederhana seperti kukus, rebus, tumis panggang, atau mentahan. Menu real food misalnya saja nasi sayur lalap dengan ikan pepes, kacang rebus, ubi kukus.
Apa saja hal menarik dari tren real food?
Bahan alami berbasis pangan lokal
Bahan yang digunakan adalah bahan segar. Jadi, pangan lokal diutamakan untuk digunakan. Dengan menggunakan bahan lokal terlebih yang sedang musim dan ada di sekitar menjadikan makanan mudah diperoleh dan lebih terjangkau. Tidak harus makan salad, justru menu-menu lokal banyak yang lebih bervariasi dan lebih sehat menggunakan bahan alami berbasis lokal.
Minimal menggunakan bahan tambahan berpengawet
Selain lebih sehat juga lebih hemat biaya ketika minimal menggunakan bahan tambahan yang mengandung pengawet. Tidak perlu membeli saus, bumbu-bumbu perasa sintetik, kaldu penyedap bubuk dan semacamnya.
Jika ingin pedas maka bisa menggunakan cabe asli, ingin enak menggunakan bumbu alami, ingin gurih menggunakan kaldu asli, dan banyak opsi lain yang lebih sehat dan enak tanpa tambahan pengawet.
Rasa sudah pasti enak alami dan menghemat biaya.
Jauh dari UPF
UPF merupakan makanan yang paling dijauhi pada tren ini. Mengingat bahwa UPF melalui proses yang panjang dan mengandung banyak tambahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. UPF juga memicu berbagai macam penyakit. Dengan menghindari UPF dan makan yang alami, tubuh menjadi lebih sehat dan tentu saja budget membeli UPF dan biaya pengobatan akibat sakit bisa dialokasikan untuk yang lain.
Minimal pengolahan, hemat bahan tenaga waktu, sumber daya
Pengolahan yang lebih sederhana dapat lebih menghemat waktu, tenaga dan sumber daya. Misalnya saja kita bandingkan mengukus kentang dibanding dengan deep fry yang dibumbui berbagai macam bumbu instan. Biaya minyak dan bumbu tentu saja beda menambah budget. Dengan begitu juga lebih ramah lingkungan.
Sehat secara keseluruhan
Dengan mengelola makan yang sehat maka dampak bagi tubuh adalah sehat secara keseluruhan. Baik untuk berat badan, kulit, pencernaan, pembuluh darah, jantung, paru-paru, reproduksi, hormonal, emosional, dll. Orang yang sehat akan lebih produktif. Selain dampak pada kesehatan fisik, makanan sehat juga berdampak secara emosional. Pun di masa mendatang dapat mencegah berbagai macam penyakit.
Saat ini sedang ramai terkait PHK massal. Baik dari sektor pemerintahan maupun swasta. Banyak kepala keluarga yang kehilangan pekerjaannya. Selain itu, kenaikan harga bahan pangan juga menjadi polemik bagi banyak keluarga. Berita menyedihkan ini terjadi pada banyak keluarga. Beberapa kemungkinan penyebab terjadinya PHK massal pada tahun 2025 adalah kenaikan pajak pertambahan nilai, pembatasan subsidi pemerintah, hingga kenaikan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kemajuan teknologi tidak selalu memberikan dampak yang baik bagi kehidupan, terlebih dalam bidang kesehatan. Meski kini banyak teknologi baru yang dapat mendeteksi dan mengobati penyakit dengan lebih baik, namun pencetus penyakit juga lebih banyak.
Sebenarnya kalau kita mau menelaah kembali pola hidup di masa lalu, banyak hal yang bisa kita pelajari dan terapkan kembali. Banyak kebiasaan baik lama yang sebenarnya masih bisa kita lakukan namun justru kita tinggalkan.
Mungkin curhatan salah satu ibu ini mewakili jutaan ibu di Indonesia yang tengah berjuang memberikan asupan terbaik bagi keluarganya ditengah peliknya situasi ekonomi. Tulisan ini ditulis oleh ibu Nendra Rengganis di akun instagramnya @nendrarengganis dan @kakak.perempuanmu.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi bagi siapapun sekaligus menjadi pemantik untuk memperjuangkan hal yang sama. Beberapa poin yang disampaikan adalah memperjuangkan terkait cukai minuman berpemanis, pelabelan kesehatan di kemasan depan dan pembatasan iklan makanan UPF.
Lagi-lagi, Ibu kelas menengah harus berjuang sendiri.
Jadi Ibu kelas menengah di Indonesia itu nyawanya harus 9. Otaknya minimal 3. Hidup tanpa dukungan butuh nyawa & otak cadangan.
Tak hanya menghadapi gebrakan ke(tidak)bijakan penyelenggara negara yang bikin menghela nafas tiap harinya. Kita juga harus cerdas mengurus mulusnya urusan rumah tangga. Butuh ketekunan dan kreativitas demi mencukupkan anggaran keluarga.
Stunting, wasting dan kekurangan mikronutrisi jadi realita kita sehari-hari.
Setelah anak lahir ke dunia, medan perang kita berubah lanskapya. Ibu di Indonesia punya tugas ekstra:menjaga anak dari problem nutrisi khas negara dunia ketiga.
Setiap waktunya vaksin dan bertemu tenaga kesehatan, status gizi anak jadi ukuran keberhasilan.
Kita punya mimpi buruk baru. Saat dokter bilang, “Ibu….anaknya beratnya kurang. Lingkar lengannya kecil. Dikejar ya Bu, BBnya..”
Kekurangan gizi dalam jangka panjang artinya anak masuk fase wasting. Kalau Wasting dibiarkan tanpa intervensi, anak bisa stunting. Anak stunting tak bisa maksimal tinggi badannya. Kecerdasannya pun konon dibawah rata-rata.
Kita utak-atik menu keluarga ditengah keterbatasan yang ada. Tapi jujur saja, real food makin hari makin mahal harganya.
Pekan ini, 750 ribu hanya cukup untuk makan 4 kepala. Itu baru untuk bumbu, sayur dan protein hewaninya. Naik 100 ribuan dari pekan sebelumnya.
Masuk minggu kedua Ramadhan bukan cuma telur, cabai dan santan yang kenaikan harganya memusingkan. Bayam sekarang seikat jadi 6 ribuan. Bawang merah dan bawang putih per kg 40-50 ribuan. Daging sapi? Hehehe hampir 150 ribuan.
Panduan “Isi Piringku” dari Kemenkes jadi jauh dari relevan. Jangankan mau kombo dobel protein hewani dan nabati. Satu protein per menu saja bikin isi rekening menangis tiap hari.
Minimarket jadi battle ground baru. Sulit menemukan makanan sesuai standar nutrisi yang kita mau.
Setiap masuk ke Minimarket, anak langsung lari ke rak snack kesukaannya. Sayangnya di minimarket yang paling mudah keterjangkauannya – minim pilihan real food padat nutrisi yang bisa mendorong pertumbuhan anak kita.
Camilan gurih dengan kadar sodium tinggi.
Biskuit tinggi gula yang kandungan pemanisnya susah dibedakan karena namanya beragam rupa.
Susu UHT yang tak sampai 50% kadar susunya. Kudapan yoghurt yang konon sehat juga tinggi kadar gulanya. Dimsum, sosis dan donat itu makanan ultra proses juga.
Semua ingin diborong karena produk-produk itu selalu dilihat di iklan tontonan Youtube mereka.
Uniknya Indonesia. Di negara ini stunting, wasting, kekurangan mikro nutrisi dan obesitas bisa muncul di anak yang sama.
Anak Indonesia yang gemuk ipel-ipel tak selalu mencerminkan standar gizinya. Badan gemuknya bukan karena kecukupan nutrisi. Justru datang dari inflamasi. Sumbernya:makanan ultra proses yang jadi pilihan sehari-hari.
Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga mendukung hal ini. Prevalensi orang dengan obesitas di Indonesia naik ke 23,4% dari 21,8 persen di survei sebelumnya.
Pilihan dan pola makan kita memang sudah diinvasi.
Buah ditolak. Makan daging merah mengeluh alot. Menu ikan ogah, rasanya amis!
Gerakan tutup mulut tak berlaku untuk sosis, nugget, wafer, dan kawan-kawan. Mereka mudah dikunyah. Mudah ditelan. Manis dan gurih berlebihan berhasil mengecoh palet rasa natural.
Tak heran pada 2022 data Nielsen Retail Audit menyatakan konsumsi UPF Indonesia terus naik dengan rerata pertumbuhan di 6-8%. Kalau tak diintervensi, ini jadi potensi masuknya penyakit tidak menular macam obesitas, diabetes dan hipertensi.
Penyelenggara negara yang hobi studi banding kemana-mana. Sudahkah belajar dari mereka yang berhasil mengatasi gempuran UPF dengan kebijakannya?
Chili berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 23,7% pada 2019. Caranya, semua makanan ultra proses dilabeli “high in” yang artinya produk itu tinggi lemak, garam dan gula.
Brazil punya Food Guide for The Brazilian Population yang mendorong konsumsi makanan segar lewat berbagai kampanye edukasi publiknya.
Australia dan New Zealand punya kebijakan impor yang melindungi produk makanan segar dalam negeri. Dampaknya, real food aksesnya terlindungi.
Anak yang merengek bisa kita tolak sementara. Tapi dalam jangka panjang: kita butuh kehadiran negara.
Mengusahakan pola makan dan kecukupan gizi memang Ibu garda depannya. Tapi bukan berarti negara bisa duduk manis lalu berharap selesai semua masalahnya. Indonesia butuh kebijakan publik yang mendukung upaya Ibu menyehatkan keluarganya. Dan jelas, untuk problem sistemik macam ini, ya bukan Makan Bergizi Gratis solusinya. (Ya Allah capek.)
Sebagai Ibu Kelas Menengah yang minim dukungan sosial. Kita berhak mendesak pemerintah hadir dalam misi penyelamatan nutrisi generasi mendatang:
Kita nggak pernah minta banyak kan, Bu?
Minimal negara menjalankan tugasnya dan nggak bikin hidup kita makin ribet. Menurut saya, 3 hal ini perlu kita suarakan sama-sama:
Cukai minuman berpemanis yang dijanjikan pada semester 2 2025 benar-benar dilaksanakan.
Pelabelan kesehatan di kemasan depan. Untuk UPF yang tinggi gula, lemak dan garam. Peringatan ini harus sederhana dan mudah dipahami komposisinya.
Iklan makanan ulta proses harus dibatasi. Jangan jadikan anak-anak dan remaja target empuk untuk over konsumsi.
Menjaga nutrisi satu generasi seharusnya bukan jalan sepi, Bu. Negara harus hadir mendampingi.
Sources:
Laporan Gizi Global. (2021). Profil Gizi Negara: Indonesia.
Studi Beban Penyakit Global (2019). The Lancet Public Health.
Monteiro, C. A., dkk. (2019). Makanan ultra-olahan: apa itu dan bagaimana cara mengidentifikasinya. Gizi Kesehatan Masyarakat.
UNICEF. 2024. Analisis lanskap kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia. Ringkasan temuan kunci. United Nations Children’s Fund, Jakarta
Indonesia di Persimpangan: Membatasi Makanan Ultra-Proses atau Mengorbankan Kesehatan?”
Pada tahun 2025 ini, Hari Gizi Nasional mengambil tema “Pilih Makanan Bergizi untuk Keluarga Sehat”.
Hari Gizi Nasional tahun ini merupakan peringatan nasional ke ke-65. Tahun lalu ramai dibahas terkait program makan gratis bagi ibu hamil, balita dan anak sekolah. Dan tahun ini program tersebut akan direalisasikan sebagai perwujudan upaya pemerintah dalam perbaikan gizi masyarakat menuju Indonesia emas.
“Buku Kesehatan Ibu dan Anak 2024 Hadir dengan Segudang Inovasi”
Tahun 2024 ini, Kemenkes mengeluarkan buku kesehatan ibu dan anak (KIA) yang berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Pada buku lama beberapa tahun sebelumnya, edukasi di dalamnya tidak banyak mengalami perbedaan dan kurang menarik. Adanya buku KIA terbaru tahun 2024 muncul dengan mengejutkan seperti membawa angin segar. Apa saja bedanya?
Desain
Pada tahun-tahun sebelumnya, buku KIA tidak banyak mengalami banyak perubahan. Dari segi cover, buku hanya berbeda pada warna baju ilustrasi. Sementara pada edisi 2024 ini, buku memiliki desain yang sangat menarik. Ilustrasinya menyesuaikan desain yang saat ini cocok sekali digunakan oleh orang tua muda, khususnya generasi milenial dan gen z yang saat ini sudah menjadi orang tua.
Konten Edukasi
Sangat lengkap bagi ibu maupun anak
Dari segi kelengkapan edukasi, penjelasan edukasi sangatlah detail. Dalam buku KIA yang baru dijelaskan materi terkait kesehatan ibu dan anak secara berurutan dan lengkap sejak masa kehamilan hingga anak bisa mandiri.
Bahasa mudah dipahami
Selain lengkap, bahasa yang digunakan juga sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.
“Cukupkah perhatian bagi ibu hanya sehari dalam satu tahun?”
Bulan Desember sangat kental dengan hari ibu. Namun, sayangnya secara simbolis hari ibu hanya diperingati satu hari dalam satu tahun. Padahal dalam keluarga, ibu memiliki peranan yang sangat besar bagi keluarga. Selain hanya diperingati sehari dalam setahun, kesehatan ibu juga sering terabaikan. Anggaplah dalam contoh kecil, ketika seorang ibu melahirkan. Seberapa banyak yang peduli pada ibu? Hampir semuanya fokus pada sang anak. Bahkan akhir-akhir ini semakin banyak ibu yang menceritakan bahwa dirinya mengalami post partum blues. Kondisi yang sebenarnya mengancam keamanan ibu dan bayinya. Bagaimana dengan kesehatan ibu dalam hal yang lain?
Lingkungan kita saat ini penuh dengan gempuran makanan kemasan yang tidak sehat, khususnya ultra processed food (UPF). Sebenarnya tidak semua makanan kemasan itu buruk bagi kesehatan. Karena ada beberapa makanan kemasan yang dikemas hanya untuk keamanan. Kita bisa menilainya sebelum mengkonsumsinya dengan melihat beberapa poin penting, diantaranya:
Usia sekolah merupakan masa anak-anak yang memiliki tantangan tersendiri. Anak mulai banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Selain waktu di rumah yang semakin terbatas, pemantauan tumbuh kembang anak usia sekolah juga mulai jarang diperhatikan. Terlebih pola makan juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Berikut poster edukasi gizi “Tips Sehat Anak Sekolah”. Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan bagi anak sekolah antara lain:
Angka stunting di Indonesia masih masuk dalam kategori tinggi.Konsumsi protein hewani anak Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dipengaruh oleh banyak faktor, salah satunya adalah kuragnya pengetahuan. Pada poster ini disajikan jenis-jenis protein hewani serta ukurannya untuk memperoleh 1 porsi protein hewani.