Review Buku ‘Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan’
Judul : Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan
Penulis : Ahmad Arif
Penerbit : KPG
Tahun terbit : 2019
Jumlah halaman : 325
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Mulai dari satwa berupa mamalia, burung, serangga hingga tumbuh-tumbuhan. Selain itu, penduduknya yang terbagi menjadi ratusan suku pun memiliki adat istiadat, kepercayaan, dan pangan tradisionalnya sendiri.
Sayangnya, keanekaragaman ini kini terancam punah. Berawal dari kolonialisme Belanda dan dilakukannya tanam paksa, rakyat Indonesia akhirnya terpaksa menanam komoditas yang Belanda inginkan. Jadilah tanaman yang awalnya bervariasi mereka tanam jadi seragam, contohnya padi, tebu, kopi, dan teh. Para petani jadi tidak bisa lagi menanam berbagai tanaman yang biasa mereka konsumsi.
Kondisi ini menjadikan rakyat akhirnya terbiasa makan nasi. Nasi dianggap makanan yang lebih unggul dibanding pangan variatif mereka sebelumnya. Padahal tidak ada pangan yang lebih unggul, semuanya saling melengkapi.
Karena ketergantungan pada beras ini, pemerintah sampai mengimpor beras dari luar negeri. Impor beras akhirnya berlanjut ke masa setelah reformasi. Dari era Soekarno sampai Jokowi hari ini, impor terus dilakukan. Yang paling parah, para era Soeharto dilakukan intensifikasi pertanian dan pembabatan hutan besar-besaran demi membuka lahan pertanian. Memang jadi swasembada sih, tapi nggak lama. Habis itu tetap impor lagi. Dan buka hutan lagi. Dan pakai pupuk kimia lagi.
Masyarakat adat pun jadi terancam. Orang-orang seperti Suku Baduy sebenarnya banyak tersebar di berbagai pulau. Mereka hidup dengan berburu-meramu, ladang berpindah, atau bertani. Beberapa masih nomaden. Sayangnya, orang-orang nomaden ini dipaksa untuk dirumahkan saat Masa Soeharto. Mereka dianggap terbelakang dan harus dibina. Mereka juga diberi bantuan berupa sembako. Jadilah mereka justru kehilangan kemampuan untuk bertahan hidup di alam karena tergantung pada bantuan. Akhirnya banyak diantara mereka sakit-sakitan dan anak-anaknya pun gizi buruk.
Di sisi lain, dulu pada masa pendudukan Belanda terancam, rakyat sempat beralih menanam berbagai macam tanaman seperti sebelun Belanda datang. Hasilnya justru pertumbuhan penduduk lebih cepat dan mereka terhindar dari kelaparan. Ini satu bukti kalau diversifikasi pangan dan pangan lokal itu mampu menyelamatkan generasi.
Bukti lainnya bisa kita lihat di orang-orang Baduy Dalam dan Suku Boti. Suku Baduy dibiarkan hidup di hutan tanpa campur tangan orang luar. Hasilnya mereka tetap survive dan lestari. Kalau Orang Boti, dia memang mempunyai adat untuk tidak bergantung pada bantuan. Mereka tidak mau menerima bantuan apapun bentuknya. Mereka pekerja keras baik di ladang maupun memintal kain. Rajanya pun sangat disegani dan mau turun bersama-sama rakyatnya berladang. Sampai saat ini, suku ini masih lestari dan nggak ada masalah kesehatan berarti.
Buku ini bagus banget! Bahasanya mengalir dan pembahasannya komprehensif. Jadi bisa paham dari A-Z sesuatu yang awalnya saya awam. Dan juga bisa berempati ssekaligus berterimakasih dengan masyarakat adat karena berkat mereka kepunahan aneka tanaman dan satwa busa terhindar (atau tepatnya terpending). Yang terpenting, akhirnya jadi bahan refleksi saya sendiri untuk mulai mencoba makan karbohidrat selain nasi.
Penulis :
drg. Zahratul Iftikar
Praktisi Permakultur
Komunitas Teman Baca Ibu