Mencermati Gula pada Makanan Bayi Kemasan

Banyak diantara kita yang merasa cukup tenang dalam mengkonsumsi makanan yang memiliki label “untuk bayi”. Padahal sebenarnya tidak semua makanan yang ditujukan untuk bayi kemudian bisa dikonsumsi dengan bebas. Penting sekali untuk mencermati komposisi serta nilai gizi makanan.
Hal ini sebenarnya juga berlaku untuk semua kalangan, terutama untuk kelompok beresiko tinggi seperti anak, lansia atau orang dengan kondisi kesehatan khusus.
Kali ini kita akan mencermati produk makanan pendamping ASI (MP-ASI). Kita spesifik mencermati pada kandungan gula. Meski persyaratan produk untuk didaftarkan BPOM ada banyak, namun sayangnya aturan untuk makanan bayi tidak terlalu detail terkait batasan jumlah bahan yang seharusnya benar-benar dibatasi.
Dalam aturan BPOM nomor 28 tahun 2020 tentang ‘Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik untuk MP-ASI’ tidak mencantumkan angka maksimal untuk gula. Dalam aturan hanya tertulis dibatasi.
“Karbohidrat dalam bentuk gula sederhana
(mono dan disakarida) sebaiknya dibatasi penggunaannya.”
Maka ketika produk makanan bayi yang ada di Indonesia hampir semuanya mengandung gula adalah hal yang dianggap lumrah. Bahkan tidak hanya gula, mayoritas produk makanan bayi usia 6-12 bulan yang mudah ditemui di setiap etalase toko mengandung pemanis dan perasa sintetik. Produk tanpa gula, perasa, pemanis sangat terbatas dan sangat sulit ditemui.

Contoh produk 1 : 6 gram gula dalam setiap takaran saji.

Contoh produk 2: 5 gram gula dalam setiap takaran saji.

Contoh produk 3: 9 gram gula dalam setiap takaran saji.

Contoh produk 4: 8 gram gula dalam setiap takaran saji.
Contoh-contoh kandungan gula produk bubur bayi tersebut adalah kandungan gula dalam 1 sajian. 1 sajian saja sudah sebanyak itu. Bagaimana jika yang dikonsumsi dalam sehari melebihi satu sajian?
Bagi orang tua yang mengandalkan bubur kemasan ini, sangat mungkin untuk memberikan hingga 3 sajian per-hari. Yang itu berarti asupan gula bayi dalam sehari mencapai 15-27 gram. Belum lagi snack kemasan bayi yang juga mengandung gula.
Padahal anak usia 6-12 bulan tidak disarankan untuk diberi tambahan gula. Referensi lain ada yang masih membolehkan tambahan gula, namun hanya 5% dari total energi. Jika dikonversi dalam ukuran gram, maka itu berarti tidak lebih dari 10 gram.
Dalam jangka pendek mungkin tidak tampak masalah jika asupan gula berlebih. Bahkan tidak jarang anak justru tampak gemuk menggemaskan. Namun bagaimana efek jangka panjangnya?
Gula tambahan yang berlebih ini diberikan dalam jangka waktu lama di awal kehidupan anak. Sayang sekali organ tubuhnya yang belum optimal dipaksa untuk mengolah gula tambahan. Belum lagi ketika memasuki masa anak-anak, berbagai jajanan ultra process tinggi gula juga sangat mudah diakses anak-anak dan dinormalisasi untuk dikonsumsi.
Maka tidak heran ketika Indonesia sempat mengalami lonjakan kenaikan angka penyandang diabetes pada anak yang ekstrim. Sungguh bukan angka yang sedikit adanya kenaikan angka diabetes pada anak-anak sebanyak 70 kali lipat dalam kurun waktu 13 tahun.
Semoga regulasi makanan bagi bayi dan anak bisa lebih diperketat. Perlu adanya batasan yang gamblang terkait penggunaan gula pada produk makanan bayi. Dan juga penggunaan bahan yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tubuh bayi, seperti perasa dan pemanis buatan.
Harapannya adalah masyarakat akan otomatis terlindungi oleh kebijakan tanpa perlu menunggu semua masyarakat tahu dan paham.
Penulis : Lisa Rosyida, S.Gz, RD
Editor : Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH, Ph.D