Makanan Anak yang “Tampak Sehat” dan Dinormalisasi Masyarakat

Beberapa makanan sangat dinormalisasi di masyarakat kita untuk diberikan pada anak. Iklan yang sangat gencar, ketersediaan produk yang mudah, harga yang terjangkau, kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang dan pengetahuan masyarakat akan kesehatan yang masih kurang bisa menjadi kemungkinan penyebabnya.

Saat ini kita hidup dalam gempuran iklan yang luar biasa. Bahkan pihak yang termakan iklan tidak hanya anak, namun juga orang tua.

Terlebih anak terus dipikat pada iklan, kemasan, sensasi dan rasa yang sangat menarik.

Apa saja contohnya?

1. Susu berperisa.

Mayoritas susu anak yang dipopulerkan adalah susu yang mengandung perasa dan tinggi gula. Misalnya saja susu rasa coklat, stroberi, madu. Promosi di televisi tidak henti-hentinya. Terutama pada jam tayangan anak. Tidak jarang produk susu tinggi gula ini bahkan beriklan di sekolah-sekolah. Guru pun banyak yang tidak tahu bahwa produk tersebut juga memiliki efek buruk yang lebih banyak bagi kesehatan.

  • Ekspektasi orang tua: anak minum susu agar protein dan kalsium terpenuhi.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: kandungan gula yang tinggi. Sebenarnya beberapa produk tampak seperti susu meski sebenarnya banyak campuran tambahannya dan hanya sekian persen kandungan susunya. Ekspektasi protein tinggi tidak diperoleh karena terkadang kandungan proteinnya rendah akibat penambahan air. Anak juga cenderung menolak susu murni jika sudah mengenal susu berperisa.
2. Nugget, sosis, kornet
  • Ekspektasi orang tua: memenuhi kebutuhan protein pada lauk anak.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: kandungan natrium, pengawet, perasa, dan lemak tinggi. Makanan bercita rasa tinggi ini dapat mengganggu preferensi makan anak. Anak jadi kurang suka makanan sehat yang cenderung kurang memiliki rasa yang kuat.
3. Agar-agar/Jelly/Pudding
  • Ekspektasi orang tua: memenuhi kebutuhan serat.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: tinggi gula, mengandung perasa dan pewarna sintetik. Tidak jarang juga ada tambahan pemanis dan pengawet. Serat yang diperoleh juga sebenarnya tidak tinggi. Tidak bisa menggantikan buah.
4. Biskuit
  • Ekspektasi orang tua: mengandung susu, ada tambahan vitamin mineral, memenuhi kebutuhan kalori anak.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: mayoritas mengandung tinggi gula. Bahkan biskuit untuk bayi juga mengandung tambahan gula, meski sebenarnya bayi tidak disarankan diberi gula sama sekali. Biskuit untuk anak mayoritas tinggi gula dari tambahan selai atau coklat.
5. Sereal Sarapan
  • Ekspektasi orang tua: anak makan sarapan. Bisa fokus mengikuti pelajaran di sekolah.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: sereal sarapan mayoritas tinggi gula, memiliki kandungan serat yang rendah dan mengandung sangat sedikit protein. Tidak mencukupi kebutuhan sarapan bagi anak.
6. Mie untuk anak
  • Ekspektasi orang tua: anak bisa mengkonsumsi mie yang sehat karena dibuat khusus untuk anak.
  • Resiko kesehatan yang sebenarnya mengintai: rasa yang kuat pada mie instan akan mempengaruhi preferensi makan anak. Mie instan mengandung cita rasa yang kuat karena mayoritas diberi perasa. Terbiasa dengan rasa yang kuat dapat mengakibatkan anak kurang suka dengan makanan sehat yang cenderung kurang kuat dari segi rasa.

Awalnya diberi sedikit, lama-lama menjadi banyak. Setelah lama terbiasa maka dapat menimbulkan adiksi. Hal ini hampir terjadi pada semua anak di Indonesia berbagai daerah. Makanan tinggi gula garam lemak begitu mudahnya ditemukan dan dibeli. Sudah dinormalisasi.

Baru segelintir orang tua yang memahami pentingnya mencermati komposisi bahan dan nilai gizi. Bahkan orang tua yang hati-hati sering justru dipandang sebelah mata. Berhati-hati menjaga makanan masih belum menjadi hal yang biasa.

Rantai normalisasi buruk ini harus diputus.

Resiko kesehatan akibat tingginya gula, garam dan lemak memang tidak langsung. Sehingga banyak yang tidak menyadarinya. Bahkan, anak yang mengalami karies gigi karena konsumsi gula berlebih kadang juga dianggap biasa. Padahal kondisi gigi dapat mempengaruhi asupan makan dalam jangka panjang.

Dan dimasa mendatang, anak dengan asupan gula garam lemak berlebih akan beresiko besar mengalami hipertensi, obesitas, penyakit diabetes yang mempengaruhi kualitas hidup di usia dewasa hingga lansia.

Masa depan negara di anak-anak saat ini. Kalau kesehatan mereka buruk, lantas bagaimana nasib negeri ini?

Masih sedikit sekali masyarakat yang peka dan sadar terhadap komposisi makanan hingga batasan nilai gizi. Menunggu semua masyarakat sadar tentu tidak mungkin. Kebijakan memegang peranan penting. Semoga pemangku kebijakan segera mengambil langkah konkrit dalam regulasi makanan, khususnya bagi bayi dan anak-anak.

Penulis : Lisa Rosyida, S.Gz, RD

Editor : Digna Niken Purwaningrum, S.Gz., MPH, Ph.D

Leave a comment

Dampak Covid