Curhatan Ibu Kelas Menengah : “Real Food Makin Mahal Tiap Hari. Gempuran UPF tak Dibatasi”

Mungkin curhatan salah satu ibu ini mewakili jutaan ibu di Indonesia yang tengah berjuang memberikan asupan terbaik bagi keluarganya ditengah peliknya situasi ekonomi. Tulisan ini ditulis oleh ibu Nendra Rengganis di akun instagramnya @nendrarengganis dan @kakak.perempuanmu.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan refleksi bagi siapapun sekaligus menjadi pemantik untuk memperjuangkan hal yang sama. Beberapa poin yang disampaikan adalah memperjuangkan terkait cukai minuman berpemanis, pelabelan kesehatan di kemasan depan dan pembatasan iklan makanan UPF.

Link sumber tulisan : https://www.instagram.com/p/DHDIGHlx-LG/?igsh=ZTlyODYzZzFid3ph

“Real food makin mahal tiap hari.

Gempuran UPF tak dibatasi.

Lagi-lagi, Ibu kelas menengah harus berjuang sendiri.

 

Jadi Ibu kelas menengah di Indonesia itu nyawanya harus 9. Otaknya minimal 3. Hidup tanpa dukungan butuh nyawa & otak cadangan.

 

Tak hanya menghadapi gebrakan ke(tidak)bijakan penyelenggara negara yang bikin menghela nafas tiap harinya. Kita juga harus cerdas mengurus mulusnya urusan rumah tangga. Butuh ketekunan dan kreativitas demi mencukupkan anggaran keluarga. 

Stunting, wasting dan kekurangan mikronutrisi jadi realita kita sehari-hari. 

Setelah anak lahir ke dunia, medan perang kita berubah lanskapya. Ibu di Indonesia punya tugas ekstra:menjaga anak dari problem nutrisi khas negara dunia ketiga. 

Setiap waktunya vaksin dan bertemu tenaga kesehatan, status gizi anak jadi ukuran keberhasilan. 

Kita punya mimpi buruk baru. Saat dokter bilang, “Ibu….anaknya beratnya kurang. Lingkar lengannya kecil. Dikejar ya Bu, BBnya..” 

Kekurangan gizi dalam jangka panjang artinya anak masuk fase wasting. Kalau Wasting dibiarkan tanpa intervensi, anak bisa stunting. Anak stunting tak bisa maksimal tinggi badannya. Kecerdasannya pun konon dibawah rata-rata. 

Kita utak-atik menu keluarga ditengah keterbatasan yang ada. Tapi jujur saja, real food makin hari makin mahal harganya. 

Pekan ini, 750 ribu hanya cukup untuk makan 4 kepala. Itu baru untuk bumbu, sayur dan protein hewaninya. Naik 100 ribuan dari pekan sebelumnya. 

Masuk minggu kedua Ramadhan bukan cuma telur, cabai dan santan yang kenaikan harganya memusingkan. Bayam sekarang seikat jadi 6 ribuan. Bawang merah dan bawang putih per kg 40-50 ribuan. Daging sapi? Hehehe hampir 150 ribuan. 

Panduan “Isi Piringku” dari Kemenkes jadi jauh dari relevan. Jangankan mau kombo dobel protein hewani dan nabati. Satu protein per menu saja bikin isi rekening menangis tiap hari. 

Minimarket jadi battle ground baru. Sulit menemukan makanan sesuai standar nutrisi yang kita mau. 

Setiap masuk ke Minimarket, anak langsung lari ke rak snack kesukaannya. Sayangnya di minimarket yang paling mudah keterjangkauannya – minim pilihan real food padat nutrisi yang bisa mendorong pertumbuhan anak kita. 

Camilan gurih dengan kadar sodium tinggi. 

Biskuit tinggi gula yang kandungan pemanisnya susah dibedakan karena namanya beragam rupa. 

Susu UHT yang tak sampai 50% kadar susunya. Kudapan yoghurt yang konon sehat juga tinggi kadar gulanya. Dimsum, sosis dan donat itu makanan ultra proses juga. 

Semua ingin diborong karena produk-produk itu selalu dilihat di iklan tontonan Youtube mereka. 

Uniknya Indonesia. Di negara ini stunting, wasting, kekurangan mikro nutrisi dan obesitas bisa muncul di anak yang sama. 

Anak Indonesia yang gemuk ipel-ipel tak selalu mencerminkan standar gizinya. Badan gemuknya bukan karena kecukupan nutrisi. Justru datang dari inflamasi. Sumbernya:makanan ultra proses yang jadi pilihan sehari-hari. 

Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 juga mendukung hal ini. Prevalensi orang dengan obesitas di Indonesia naik ke 23,4% dari 21,8 persen di survei sebelumnya. 

Pilihan dan pola makan kita memang sudah diinvasi. 

Buah ditolak. Makan daging merah mengeluh alot. Menu ikan ogah, rasanya amis! 

Gerakan tutup mulut tak berlaku untuk sosis, nugget, wafer, dan kawan-kawan. Mereka mudah dikunyah. Mudah ditelan. Manis dan gurih berlebihan berhasil mengecoh palet rasa natural. 

Tak heran pada 2022 data Nielsen Retail Audit menyatakan konsumsi UPF Indonesia terus naik dengan rerata pertumbuhan di 6-8%. Kalau tak diintervensi, ini jadi potensi masuknya penyakit tidak menular macam obesitas, diabetes dan hipertensi. 

Penyelenggara negara yang hobi studi banding kemana-mana. Sudahkah belajar dari mereka yang berhasil mengatasi gempuran UPF dengan kebijakannya? 

Chili berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 23,7% pada 2019. Caranya, semua makanan ultra proses dilabeli “high in” yang artinya produk itu tinggi lemak, garam dan gula. 

Brazil punya Food Guide for The Brazilian Population yang mendorong konsumsi makanan segar lewat berbagai kampanye edukasi publiknya. 

Australia dan New Zealand punya kebijakan impor yang melindungi produk makanan segar dalam negeri. Dampaknya, real food aksesnya terlindungi. 

Anak yang merengek bisa kita tolak sementara. Tapi dalam jangka panjang: kita butuh kehadiran negara.

Mengusahakan pola makan dan kecukupan gizi memang Ibu garda depannya. Tapi bukan berarti negara bisa duduk manis lalu berharap selesai semua masalahnya. Indonesia butuh kebijakan publik yang mendukung upaya Ibu menyehatkan keluarganya. Dan jelas, untuk problem sistemik macam ini, ya bukan Makan Bergizi Gratis solusinya. (Ya Allah capek.) 

Sebagai Ibu Kelas Menengah yang minim dukungan sosial. Kita berhak mendesak pemerintah hadir dalam misi penyelamatan nutrisi generasi mendatang: 

Kita nggak pernah minta banyak kan, Bu? 

Minimal negara menjalankan tugasnya dan nggak bikin hidup kita makin ribet. Menurut saya, 3 hal ini perlu kita suarakan sama-sama: 

  1. Cukai minuman berpemanis yang dijanjikan pada semester 2 2025 benar-benar dilaksanakan. 
  1. Pelabelan kesehatan di kemasan depan. Untuk UPF yang tinggi gula, lemak dan garam. Peringatan ini harus sederhana dan mudah dipahami komposisinya. 
  1. Iklan makanan ulta proses harus dibatasi. Jangan jadikan anak-anak dan remaja target empuk untuk over konsumsi. 

Menjaga nutrisi satu generasi seharusnya bukan jalan sepi, Bu. Negara harus hadir mendampingi.

 

Sources:

Laporan Gizi Global. (2021). Profil Gizi Negara: Indonesia.

Studi Beban Penyakit Global (2019). The Lancet Public Health.

Monteiro, C. A., dkk. (2019). Makanan ultra-olahan: apa itu dan bagaimana cara mengidentifikasinya. Gizi Kesehatan Masyarakat.

UNICEF. 2024. Analisis lanskap kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia. Ringkasan temuan kunci. United Nations Children’s Fund, Jakarta

Indonesia di Persimpangan: Membatasi Makanan Ultra-Proses atau Mengorbankan Kesehatan?”

Leave a comment

Dampak Covid