DAMPAK BURUK SAMPAH MAKANAN BAGI LINGKUNGAN

                Membicarakan mengenai gizi tidak sekedar membahas tentang makanan yang masuk ke dalam tubuh. Perhatian akan perjalanan makanan dari kebun hingga akhir juga penting untuk dipahami. Salah satu masalah pangan dan gizi yang masih ada di berbagai negara adalah ‘food loss’ dan ‘food waste’. Dari sekian banyak negara di dunia, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia selain Arab Saudi dan Amerika Serikat. Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021 memaparkan bahwa sampah terbanyak di Indonesia adalah sampah sisa makanan (food loss dan food waste), yaitu sebesar 29,1% dari total sampah.

                Permasalahan food loss dan food waste mengancam kurang terpenuhinya permintaan pangan maupun kerusakan kondisi lingkungan. Penyebab kekurangan pangan tidak hanya sekedar masalah produksi saja, namun juga tingginya angka kehilangan pangan. Pada food loss terjadi kehilangan pangan saat tahap produksi serta distribusi, dan food waste terjadi kehilangan pangan saat tahap konsumsi. Bagi lingkungan, food loss dan food waste berkontribusi dalam kehilangan air, gangguan keseimbangan ekosistem, emisi gas rumah kaca.

                Hal yang makin disayangkan lagi pada sampah makanan adalah adanya biaya mahal yang harus dibayar. Ketika ada sampah makanan, hal itu juga berarti terjadi pembuangan air secara sia-sia. Setiap proses produksi makanan, banyak sekali air yang digunakan. Air digunakan untuk mengairi tanaman, menghasilkan makanan, pengolahan, pengemasan serta pengangkutan. Selain air yang digunakan dalam setiap prosesnya, air yang terdapat dalam makanan juga terbuang sia-sia. Sementara di belahan dunia lain terjadi banyak kekurangan air. Sampah makanan juga melibatkan lingkungan. Hal ini dikarenakan untuk mengolah makanan juga dibuka bayak lahan untuk produksi. Resikonya mengganggu keseimbangan ekosistem karena satwa dan tumbuhan yang berkurang.

                Sampah makanan juga memberikan efek negatif langsung pada lingkungan. Sampah makanan di tempat pembuangan sampah yang membusuk akan menghasilkan gas rumah kaca (metana) yang lebih berbahaya dari karbon dioksida. Selain dari proses pembusukan makanan di tempat pembuangan, gas rumah kaca juga dikeluarkan dalam produksi dan transportasi makanan. Selain itu, kendaraan yang digunakan untuk mengangkut dalam berbagai proses juga menghasilkan karbon dioksida. Metana dan karbon dioksida yang berlebih dapat menyerap radiasi infra merah dan memanaskan atmosfer bumi. Akibatnya adalah pemanasan global dan perubahan iklim.

                Untuk menjaga lingkungan agar tetap kondusif, diperlukan pengendalian yang besar terhadap pengurangan sampah makanan. Dengan pengendalian sampah makanan, maka emisi gas rumah kaca dapat ditekan. Penurunan food waste dan food loss juga merupakan salah satu target agar dapat mecapai Sustainable Development Goals (SDGs) Zero Hunger dan Responsible Consumption and Production, khususnya tanpa kelaparan dan konsumsi dan produksi bertanggung jawab.

Sumber bacaan:

https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/perbedaan-food-loss-dan-food-waste/

https://diskapang.ntbprov.go.id/detailpost/apa-itu-food-losses-dan-food-waste

https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2022/05/25/food-loss-food-waste-ketika-makanan-yang-terbuang-menjadi-masalah-bagi-lingkungan/

Leave a comment

Dampak Covid