Skrining Gizi Lansia
Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok yang rentan mengalami permasalahan kesehatan. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan kemampuan fisik karena penuaan. Untuk menunjang kesehatan lansia, diperlukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta pelayanan rujukan. Pelayanan kesehatan lansia meliputi kesehatan jasmani, rohani maupun sosial.
Beberapa masalah gangguan fisiologi pada lansia mempengaruhi status gizi lansia, diantaranya: perubahan kecepatan metabolisme tubuh, perubahan produksi asam lambung, dan perubahan gerakan peristaltik saluran pencernaan, kemampuan paru-paru, kerongkongan, dan kemampuan makan. Permasalahan fisiologi ini mengakibatkan lansia rentan mengalami malnutrisi. Kondisi malnutrisi dapat menurunkan kualitas hidup lansia.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah malnutrisi pada lansia adalah dengan mendeteksi lebih awal. Deteksi awal dapat dilakukan dengan melakukan skrining gizi. Dengan resiko malnutrisi yang telah diketahui diharapkan kualitas hidup lansia menjadi lebih baik karena sehat dan produktif. Terdapat banyak alat skrining gizi untuk mendeteksi malnutrisi, namun tidak semua dapat digunakan oleh semua kelompok usia. Alat skrining gizi yang secara spesifik dapat digunakan bagi lansia adalah Malnutrition Screening Tools (MST) dan Mini Nutritional Assesment (MNA).
MNA merupakan instrumen skrining gizi yang sederhana dan lengkap dalam menilai faktor-faktor yang mungkin berperan pada status gizi. Banyak riset yang telah menguji MNA, baik di dalam maupun di luar negeri. MNA merupakan alat spesifik yang didesain untuk tujuan mengidentifikasi risiko malnutrisi pada usia lanjut sedini mungkin. MNA terdiri dari MNA full dan MNA short form (MNA-SF). MNA merupakan alat skrining yang paling populer untuk lansia. Beberapa pertanyaan pada MNA yaitu antropometri (penurunan berat badan, IMT, LLA, dan lingkar betis), asupan makan (asupan makanan dan cairan, frekuensi makanan, dan kemampuan makan sendiri), penilaian global (gaya hidup, obat-obatan, mobilitas, ada tidaknya stress akut, demensia atau depresi) dan self-assessment (persepsi pasien tentang kesehatan dan nutrisi). Skor 24 menunjukkan status nutrisi baik, skor 17-23.5 menunjukkan risiko malnutrisi dan skor <17 menunjukkan malnutrisi. MNA memiliki sensitivitas 96%, spesifisitas 98%, dan akurasi diagnosis 98.7%. Yang menjadi keunggulan lain MNA lainnya adalah dapat mendeteksi lansia dengan risiko malnutrisi sebelum tampak perubahan bermakna berat badan dan protein. Nilai MNA dapat menjadi prediktor lama perawatan dan mortalitas.
Alat skrining MST juga dapat digunakan bagi lansia namun tidak sepopuler MNA. MNA biasa digunakan pada dewasa dan lansia saat rawat inap maupun rawat jalan. Parameter yang digunakan adalah riwayat penurunan berat badan (skor 0-4) dan asupan makan (skor 0-1). Pasien terdeteksi malnutrisi apabila memiliki skor lebih dari sama dengan 2 (≥2). Skrining pada saat rawat inap dilakukan di 24 jam awal rawat inap dan mingguan selama perawatan. Kegiatan skrining dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, perawat, ahli gizi, staf administrasi, keluarga, teman atau pasien sendiri. MST memiliki sensitivitas dan spesifisitas 93%. Skor yang tinggi menunjukkan lama rawat yang lebih panjang.
Sumber bacaan:
http://www.health.qld.gov.au/masters/copyright.asp
http://news.unair.ac.id/2020/10/20/alat-skrining-untuk-mencegah-malnutrisi-pada-lansia/
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/3019/3/BAB%20II.pdf